Menciptakan Ruang Dialogis Dengan Anak

Ada dua hal yang membuat seseorang menjadi pemaksa atas kehendak atau keinginannya kepada orang lain. Pertama adalah perasaan lebih tahu, lebih memahami, atau lebih mengerti tentang sesuatu antara dirinya dibanding orang lain. Contohya adalah  ketika seorang anak menangis meminta mainan baru, seketika pikiran kita bertumpu pada hal-hal berikut ini: mainan itu kurang bermanfaat, sudah punya mainan serupa, anak tidak terlalu membutuhkan, atau yang paling sering karena orang tua tidak punya uang atau cukup dana.

Demikian juga dengan permintaan jajan seorang anak, biasanya kita melarang anak karena beberapa alana seerti: sudah jajan sebelumnya, jenis jajanan yang dipilih kurang sehat, sedang terburu-buru, atau yang paling sering juga adalah tidak ada uang cukup jika anak menambah jajan. Bisa jadi pertimbangan kita memang benar, sebagai antisipasi terhadap kebiasaan jajan atau perlindungan kesehatan anak dan sejenisnya namun, terkadang ada satu hal yang kita lupa bahwa seorang anak kecil memiliki taraf pertimbangan yang berbeda dengan orang dewasa ketika menghendaki sesuatu.

Misal saja pada mainan, bagi anak kecil mainan pistol air itu bisa menjadi amat berarti untuk dimiliki karena semua teman-teman di sekitar rumahnya memiliki, cara untuk dia bersosialisasi adalah dengan memiliki hal yang sama. Atau sekedar dia ingin mengetahui hal baru dari mainan itu. Nyatanya banyak juga mainan anak yang akhirnya rusak karena dibongkar setelah si anak bosan.

Dalam pikiran orang dewasa pistol air tidak terlalu penting buat si anak karena justru akan membuat basah semua ruangan, belum lagi nanti kalau masuk angin atau mubadzir air hanya untuk mainan. Membuat gaduh di rumah atau komplek karena semua basah. Tapi begitulan kadang perbedaan cara menimbang sesuatu antara anak-anak dengan orang yang lebih dewasa. Bukan hanya pada sesuatu yang sifatnya minat atau keinginan, bahkan persepsi pada sebuah kata atau istilah saja sering kali berbeda maksud antara anak kecil dan orang dewasa.

Seperti misal ada seorang anak SD mengadu pada orang tuanya bahwa di sekolah teman-temannya sudah mulai genk-genk-ngan. Dalam benak orang  dewasa istilah Genk itu adalah sekelopok anak yang terorganisir, fanatik teman, suka membuly kelompok lain, bersaing dengan licik, kriminal dan bar-bar, terlebih lagi dengaan bumbu informasi kenakalan remaja seperti klitih, begal dan tawuran dan lain sebagainya. Lalu timbulah persepsi yang negatif terhadap situasi di sekolah yang seakan-akan sudah tidak aman lagi untuk bergaul bagi anak-anak. Padahal bisa jadi dalam persepsi anak SD sebutan genk itu amat sederhana dan biasa. Seperti mereka sudah mulai memiliki kecenderungan dalam memilih teman berdasar kecocokan aktivitas, atau merasa senasib. Hanya sebatas itu saja.

Hal ini disebabkan karena orang dewasa telah mengalami banyak peristiwa, mempunyai banyak informasi dan kabar berita yang sering didengar, hingga terjadilah pembentukan persepsi mengerikan terhadap sebuah istilah semisal genk itu. Sedangkan anak-anak adalah manusia yang baru tumbuh dan belum memiliki segudang informasi seperti orang dewasa, kosa kata yang dimiliki baru sebatas ia dengar lalu mereka tiru dan diucapkan. Sangat sering kami bertanya pada banyak anak ketika berucap sebuah kata yang baru atau tidak lazim ternyata merka tidak mengetahui secara persis artinya, bahkan makna kata tersebut.

Maka perlu juga kita menyelidik lebih dalam apa maksud dan kenyataan dari sesuatu yang pernah anak ucapkan. Seperti contoh ungkapan yang sering terlontar dari anak semisal: temanku tadi dikroyok, Aku tadi tantang-tantangin sama kakak kelas, teman-temanku jahat, aku mau ditusuk pensil, dan segudang kata mengerikan lainnya.  

Di sini bukan berati penulis mengecilkan atau menyepelekan beberapa ungkapan negatif dari seorang anak, namun lebih pada keinginan menempatkan hal tersebut sesuai dengan porsinya. Justru dari permasalahan dan persepsi yang berbeda antara anak kecil dan orang dewasa itulah menciptakan ruang DIALOGIS antara anak dan orang dewasa untuk lebih mendalami apa motif sebenarnya yang menjadi dasar seorang anak memilih atau mengungkapkan sesuatu.

Kedua adalah karena adanya rasa otoritas terhadap sesuatu, otoritas ini bisa berupa status sosial yang lebih tinggi, jabatan, kekuatan, atau wewenang. Pun demikian dengan hubungan antara orang tua dan anak, siswa dengan guru, pimpinan dengan anggota. Karena ada wewenang dan hak yang lebih inilah kadang seseorang melakukan pemaksaan kehendak.

Dalam kontek pendidikan mestinya ada ruang dialogis yang terjadi antara guru dan siswa atau orang tua dengan anak. Tidak kemudian semua keputusan itu berdasarkan pertimbangan satu pihak. Ruang dialogis perlu juga untuk dibangun sekalipun dengan anak kecil. Biasanya ruang dialogis bisa dilakukan ketika anak sudah bisa menunjukan minat atau keinginan terhadap sesuatu dengan jelas. Hal ini tetap bisa di bangun sekalipun anak kadang belum mampu merespon balik.

Pembiasaan terhadap cara berpikir dialogis ini sangat penting sebagai bekal anak ketika tumbuh dan akan mulai mengambil keputusan sendiri. Paling tidak dia memiliki cara untuk menimbang sesuatu ketika akan memutuskan sebuah masalah atau berkomitmen pada suatu hal.

Ruang dialogis terhadap anak setidaknya harus memiliki dua unsur. Pertama adalah kemampuan pengarahan (drive), kedua adalah kekuatan negosiasi. Ruang dialogis yang penulis maksud bukan berarti seorang guru atau orang tua tidak memiliki pendirian dan tujuan terhadap kebaikan anak, anak-anak dibebaskan sekehendak mereka untuk memilih dan menentukan sesuatu, justru karena jelasnya tujuan dan teguhnya pendirian agar anak tumbuh dengan baik maka ruang dialogis menjadi salah satu cara mengawal anak untuk mencapai tujuannya.

Kemampuan mengendalikan ini akan berguna untuk mengarahkan segala bentuk pilihan dan kemauan anak supaya tetap berada dalam track atau koridor tujuan, sedangkan kekuatan negosiasi berguna ketika seorang anak mempunyai keinginan yang berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang menurut kita baik. Penalaran orang dewasa dan juga pertimbangan akan segala kebaikan amat diperlukan sebagai garis batas negosiasi.

Ruang dialogis disamping berfungsi untuk mengarahkan juga berfungsi untuk lebih memahami kondisi yang terjadi pada anak. Sebab setiap anak akan menjalani kehidupannya masing-masing. Mereka akan menjadi pelaku utama dalam hidupnya. Anak-anak bukan pula sebuah tubuh dengan jiwa dan pikiran kosong yang bisa semaunya kita perintah dan arahkan. Namun, dengan ruang dialogis inilah kita bisa menggali lebih dekat jiwa anak sebagai bahan untuk mengarahkan mereka pada tujuan hidup yang mulia dan penuh manfaat.   

Pemaksaan kehendak tanpa penjelasan kepada anak akan menjadikan mereka tumbuh tanpa inisiatif. Penentuan pilihan untuk anak seperti pilihan sekolah, pilihan pakaian, menu makan, pilihan teman bahkan cita-cita tanpa adanya keterlibatan (ruang diaologis) dengan anak akan menjadikan mereka tumbuh tanpa rasa tanggungjawab dengan pilihan yang akan mereka jalani. Hadirkan pendapat mereka dalam ruang dialogis, biarkan mereka ungkapkan keinginan dan apa yang ia sukai, berikan ruang mereka mengungkap tentang dirinya. Dengan kemampuan pengarahan yang baik dan kekuatan negosiasi dari guru atau orang tua, In Syaa Allah akan menghadirkan kebaikan untuk setiap pilihan hidup seorang anak.  

Posting Komentar

0 Komentar