MASALAH SEBAGAI DAYA HIDUP

Hidup adalah cara manusia menghadapi masalah. Sejak semula kelahiran manusia ke dunia telah membawa masalah masing-masing. Siklus ini berputar dan tiada akan berhenti. Bayi yang terlahir dari rahim ibunya membutuhkan pertolongan orang lain untuk diselamatkan. Menangis sebab menghadapi dunia yang baru setelah sembilan bulan bergantung diperut ibunya; makan, minum, tidur, tumbuh, mendengar, bergerak dan bahkan bernafas dengan cara seperti apa pun ia tumbuh dalam kandungan.

Sedetik setelah terlahir maka ia mendapati masalah bahwa dunia yang ia temui serba baru; dingin udara, bernafas, menangis, mendengar, disentuh bahkan difoto menjadi masalah untuknya. Terlebih lagi ia harus berjuang dan beradaptasi. Bukan saja untuk dia, lepas dikumandangkan adzan oleh bapaknya lalu si bapak berpikir seribu cara bagaimana cara membelikan ia susu, memberinya makan, gizi, vitamin, baju, popok, ranjang tidur, bantal, bahkan terpikir pula bagaimana caranya merawat si anak supaya tumbuh dengan lingkungan yang baik dan berharap menjadi anak yang penurut, berbakti dan berbudi pekerti. Begitulah manusia terlahir memang sudah sewajarnya menempuh masalah.

Lalu apakah seseorang yang beranggapan anak akan membawa masalah, lalu bertekad dengan pendirian tidak mau punya anak keturunan dan menganut paham childfree akan terbebas dari masalah? Mustahil! Justru paham childfree inilah yang akan membawa manusia pada masalah yang lebih pelik dari yang kita kira. Bagi pribadi akan berdampak kerapuhan, kekosongan jiwa, hampa dan membunuh naluri kemanusiaan yang dia punya. Lebih parah, bahwa dirinya akan punah dari muka bumi sebab tak ada penerus dan pengusung kehidupannya.

Kembali lagi kepada manusia yang terlahir ke dunia dengan status wajib menghadapi masalah. Bayi harus belajar meminta ketika lapar, mengutarakan keinginan dengan tangisan, belajar menerima dingin udara dan kadang hingga sakit badan karena beradaptasi. 

Tapi sebab manusia diberi akal oleh Tuhan makan naluri keibuan dan keayahan menjadi penyelamat untuk hidup sang anak. Didekapnya  erat saat menangis, ditimang dan diberinya ASI, si ibu terbangun di tengah malam sebab si kecil menangis kelaparan. Esok pagi ayahnya akan berangkat bekerja menunaikan tanggung jawab kepada Tuhan yang telah diucapkannya saat pernikahan  “Qobiltu nikahaha wa tazwijaha”, saya terima nikah dan kawinya. Inilah permulaan dari janji yang telah diambil oleh seorang laki-laki di hadapan ayah dari seorang perempuan. Seorang bujang yang mengambil tanggung jawab seorang wanita dari pelukan kasih sayang anaknya.

Ketika seorang anak tumbuh remaja, sekolah, bekerja, lalu menemukan jodoh dan kembali ke siklus semula yaitu memiliki anak dan pasangan, maka masalah kehidupan adalah teman dalam kehidupan. Setiap fase memiliki masalah masing-masing, setiap ujian akan dilalui para manusia. Maka benar kata WS. Rendra "Hidup adalah mengolah hidup. Suka duka kita tidak lah istimewa, karena setiap orang mengalaminya."

Di dalam lapangan hidup, manusia mempunyai tugas untuk mencari solusi dari masalah yang menimpa. Sebab dengan menghadapi masalah manusia itu tumbuh menjadi makhluk yang kuat dan berdaya. Bukankah daya hidup juga tumbuh karena adanya sebuah masalah? Seperti sebuah bendungan tercipta karena kebutuhan manusia akan air untuk pengairan sawah dan kebuh, mencuci, minum, dan segala hajat manusia lainya. Bahkan benda-benda ciptaan manusia terlahir karena proses manusia bermesraan dengan masalah. Lulu mengapa kita harus takut dengan masalah? Sedangkan ketakutan itu pun adalah masalah bagi manusia? Maka kunci dari pada kehidupan manusia adalah tekad untuk menjadikan masalah sebagai daya hidup yang membuatnya semakin kuat. 

Posting Komentar

0 Komentar