BERDEBAT DENGANMU -AYAH-

BERDEBAT DENGANMU -AYAH-
Oleh: Kahar Pagi

Kita adalah dua lelaki yang tak sebanding.
Nyatanya! Takdir tak pernah mengizinkan kita berdiskusi secara dewasa. Tidak juga ada kesempatan untuk sekedar berbincang sebuah tema yang ringan semisal “apa kabarmu?.” Kita memang laki-laki yang tak sebanding! Sebab aku tak pernah melihat engkau menua dan engkau juga tak pernah membersamaiku tumbuh dewasa.

Ingin rasanya aku bertengkar denganmu sebagai orang dewasa yang saling beda pendapat. Aku ingin diakui sebagai anak laki-lakimu yang memiliki pendirian. Tetapi pertengkaran itu tak pernah terjadi sama sekali. Kadang aku ingin berdebat hebat perkara cinta dan jodoh denganmu. Biar aku dengarkan apa pendapatmu tentang perempuan? Bagaimana caramu menilai dan memilihkanku seorang wanita.

Namun semua itu tak pernah terjadi di antara kita. Bahkan sampai sekarang aku telah menikah dan ingin menghadiahkan seorang cucu perempuan untukmu. Hanya terkenang sekali saja marahmu ketika masa kanak-kanak. Itulah untuk pertamakalinya aku bahagia karena pernah jengkel kepadamu.

Kita memang bukan lelaki yang sebanding! Sebab aku tak pernah bisa mengerti kedewasaanmu, dan kau tak mau kompromi atas sifat manja dan kenakalanku. Kau asyik bekerja siang dan malam, menahan pulang hingga tiga sampai empat bulan. Sedangkan aku pergi asyik main bola setiap sore, melupakan makan dan pelajaran di sekolah. Masing-masing kita memang punya cara tersendiri agar bisa disebt “Laki-laki” oleh perempuan kecintaan kita -ibu-. Sepertinya hanya dalam perkara mencintai Ibu saja kita bersepakat.


Tentang hubungan kita yang tak pernah mesra, kaku dan sepi. Sebenarnya aku berbohong tentang semua itu. Aku adalah lelaki yang penuh rindu dendam kepadamu, namun membeku sebab terlalu lama ditahan-tahan. Hingga akhirnya lidah ini terlanjur kelu untuk berbicara soal “kita”. Tubuh ini kaku untuk saling berpeluk mesra sebagai lambang emosi yang meluap sebab cinta membakar rinduku seperti kobaran api yang menghabisi hutan-hutan kasih.

Ayah. Kau adalah lelaki ibarat hujan sedang aku adalah tanahnya. Kau jatuhi aku dengan ribuan rintik air langit, lalu denganya kau suburkan aku. Tumbuh dari dalam diriku sebuah pohon yang berakar tunggang, batangnya kuat, rantingnya banyak, berdaun lebat, dan berbuah sangat banyak. Pohon itu sekarang sudah meneduhi “perempuan itu.” Kekasihku dan kekasihmu. Perempuan yang kita sepakati untuk dicintai. -ibu-

Ayah. Di mataku kau bukanlah seorang lelaki penuh penghargaan juara-juara. Tapi pengakuanku padamu satu, kau menang dariku dalam soal-soal cinta. Pada akhirnya Kau pergi pagi itu. Sementara “perempuan kecintaan kita” masih mematri cintamu terus menerus.

Sejak saat kepergianmu itu, aku mulai mengetahui bagaimana seharusnya tumbuh menjadi dewasa. Dari mulai kepergianmu pagi itu, kita telah tumbuh menjadi tegar dan sangat kuat. Entah cinta macam apa yang pernah kau tancapkan dalam hati Istrimu -ibuku-, sehingga pergimu melukai tapi menumbuhkan. Perih tapi menyembuhkan, kehilangan tapi menguatkan.

Lelaki kecil ini telah rela bahwa kita tak sempat berdialog dan bertemu sebagai dua orang lelaki dewasa. Tak mengapa! Kita tak pernah silang pendapat. Sebab di hadapanmu aku tak butuh lagi di akui sebagai seorang laki-laki sejati.

“Jika rindu itu bisa dikonfersi menjadi sebuah do’a yang dikabulkan, maka aku ingin meminta pada Tuhan agar engkau [ayah] dibuatkan sebuah rumah untuk menunggu kita di syurga. Disanalah aku akan mendebatmu tentang perkara cinta”
(kahar pagi)

Posting Komentar

0 Komentar