TAK SEBANDING

Nyatanya...
Takdir memang tak mengizinkan kita untuk berdiskusi. Walau mungkin hanya sebatas tema tentang 'apa kabarmu'. Kita memang bukan laki-laki yang sebanding. Sebab aku tak pernah melihatmu menua, sedang kau pun tak pernah melihatku tumbuh dewasa. Ceritaku lain ceritamu.

Apa pernah kita bertengkar karena berlainan pendapat? tidak! yang pernah adalah memarahiku dan aku jengkel padamu. Sebab aku tak pernah mengerti kedewasaanmu, sedang kau tak mau kompromi atas kemanjaan dan kenakalanku. Kita adalah 2 lelaki yang tak sebanding.

Nyatanya...
Kau dan aku memang berlainan. Kau pergi asyik bekerja, dan aku pergi asyik bermain bola. Masing-masing kita punya cara tersendiri agar bisa disebut 'laki-laki' oleh perempuan kecintaan kita itu. Dan tentang hubungan kita yang tak pernah mesra. Kaku, atau mungkin karena kita sangat begitu saling rindu dendam tetapi beku sebab ditahan-tahan. Hingga lidah ini kelu kelu untuk bicara soal 'kita' dan tubuh ini kaku untuk saling berpeluk sebagai lambang emosi kita yang meluap sebab cinta membakar seperti kobaran api yang membakar hutan-hutan kasih.

Kau adalah lelaki ibarat hujan. Sedang aku adalah tanahnya. kau jatuhi aku dengan ribuan rintik. Lalu dengan itu kau suburkan aku. Tumbuh dari diriku sebuah pohon yang berakar tunggang, batangnya kuat, rantingnya banyak, berdaun lebat dan berbuah banyak... meneduhi 'perempuan itu' kekasihku dan kekasihmu.

Nyatanya...
Kita memang 2 lelaki yang tak sepadan. Walau sebenarnya kau tak begitu berprestasi. Tapi kau harus aku akui bahwa kau menang besar dariku dalam hal cinta dan aku bangga. Lalu... Setelah lama kau pergi pagi itu, saat itu aku mulai tahu bagaimana menjadi dewasa, dari sejak saat itu aku mengerti mengapa 'perempuan kecintaan kita itu begitu teguh dan setia pada kita.

Dan untuk seterusnya... Izinkan aku memanggilmu dengan sebutan 'Ayah'

Yogyakarta, 18/8/2016
PP Budi Mulia
Emre_Ember (21.10)

Posting Komentar

0 Komentar