Diperjanjian!

Telah tiba saatnya kau meletakan kakimu di atas telapak kakiku, sebagai pijakan kuat atas langkah kita yang coba kita seiramakan. Apakah kau izinkan? Sudah aku pertimbangkan, sudah berani aku tetapkan. Kemana langkahku melangkah maka disitulah kau berpijak di atas kakiku besarku. Kemanapun langkah besarku pergi, di situlah kakimu mengikutiku kugendong dengan berani.

Jodoh. Kaulah sekarang tanggungjawabku selanjutnya. Berkenankah kau? Biarkan aku mengambilmu dari pangkuan Ayahanda dan Ibundamu. Bukan! Bukan untuk aku pisahkan antara kau dan mereka, tapi justru aku hendak menyerahkan diri pada mereka, memohonkan agar kau bisa aku jaga. Ini bukanlah hal sendau gurau atau layaknya permainan petak umpet. hitung menghitung, saat tak terlihat lalu kita sembunyi. Bukan! Bukan hal semacam itu yang ingin aku tegakkan. Izinkan aku datang dengan muka menghadap, senyum tersimpul dan segunung rasa hormat yang terpikul di pundak.
  
Kamu. Sejauh apapun diriku akan pergi, sajauh itu pula dirimu akan aku bawa mengikuti. Sebab kaulah kekuatanku dalam derap langkah. Energi ke 3 saat badanku mulai payah. Kau lah.... pemandangan indah saat aku melihat dunia semakin suram. Apabila aku pergi ke pantai dan aku daki gunung-gunung, saat itu pula kakimu memijaki hamparan pasir dan menapaki terjal juga mendaki. Sebab kakimu aku izinkan berpijak di atas kakiku. Selalu.... Maukah kamu?

Sudah. Tiba saatnya tangan besarku menggenggam telapak tanganmu. Mengikat sesuatu yang dulu belum terikat. Menggenggam sesuatu yang dulu belum mampu aku genggam. Maukah kau pun menyambutku dengan genggamanmu? Untuk saling menggenggam sebuah janji besar yang terselip kuat di jemarimu nanti. Dimana tangan besarku berkarya, disitulah jemarimu menguatkan aku dalam merumuskanya. Begitulah mestinya ikatan. Saat genggamanku mulai lemah saat itulah kau genggam tanganku lebih erat, agar kita saling terikat, tak pernah cerai bagai pohon dengan daunya. Sebab bagi diriku, genggamanmu adalah laksana akar pohon bagiku, jika matilah akar, maka matilah batang, lesulah ranting, gugur setelahnya daun dan buah. Lalu cepat atau lambat tumbanglah pohon keperkasaan itu. Karena bagaiaman mungkin pohon ini akan berdiri jika akarnya telah mati?
Jodoh. Itulah perlambangan dirimu terhadapku.

Kekasih. Relakah kau aku sebut demikian? Relakah? Kau adalah bagai serangan bidadari. Terkumpul semua takdirku terkait padamu. Kita akan tempuh segala hal setelah ku selesaikan ritual ucapan sakral penghidup akar dan pohon. Janji besar seorang laki-laki yang memilih memikul beban seorang perempuan.

Takdir yang kait mengait. Tertali bersama putaran langit. Semua terjadi tersebab oleh takdir Tuhan yang sangat rahasia. Sangat rahasia. Lalu kini rahasia itu seperti terbaca dalam adanya aku menempuh dirimu.

Kini. Sudah aku terangkan perkaraku kepadamu dengan jelas. Sudah kah kau mengerti? atau kah kau takut? atau kah kau menyesal? Sekali lagi aku katakan kepadamu...... "bagaiaman mungkin pohon ini akan berdiri jika akarnya telah mati".

Kaki telah siap ditumpu. Tangan telah siap meraih genggaman. Apabila Takdir Tuhan menentukan, beruntungkah atau tidak. Kau. Jodoh. Kekasih. Bukanlah Tuhan dalam kisahku. Tuhanku adalah penciptaku, penyelamatku sepenuhnya. Dan aku dicipta sebagai Laki-laki berani. Tak mundur karena terpukul, menyingkir karena kehormatan, maju ke muka karena berani menanggung beban.



Emre_Ember 

Posting Komentar

0 Komentar