Hujan...
Tolong jatuhi aku
Sudah lama aku sembunyi darimu, terlebih semenjak aku pindah ke kota. Tiba-tiba ada rasa ingin mengenang saat-saat kita berpesta dahulu, nyanyian hujan ditabuh langit lewat jatuhanmu di genteng-genteng, dedaunan, batang bambu dan yang jatuh langsung ketanah. Gemericik...
Iraman hujan yang naik turun tersebab diombang-ambing angin... syahdu.
Bersama sahabat-sahabat kecil berjibaku dalam hijan dan lapangan becek, berebut bola lusuh yang berwarna coklat, pantang pergi sebelum petir menyambar padi. Sekarang mereka sudah banyak yang pergi ke Jakarta dan ada yang entah kemana. Mengadu nasib bekerja sebagai buruh pabrik. Demi kehormatan kehormatan keluarga kita di kampung kita harus bekerja keras sekeras-kerasnya, seperti saat kita berusaha berenang ketepian suangai ketika banjir dan kita menyengaja berhain hanyut-hanyutan... kita sendiri yang ciptakan bahaya dan tantangan, dan kita sendiri pula yang harus mencari jalan keselamatan. Persis seperti hidup kita saat telah dewasa begini. Kita menantang negeri orang dengan kerja sebagai buruh saja, dengan segala arus dan bahayanya... kejenuhan dan rekasanya. Tapi bukankah kita juga harus kembali berenang ketepian? Mengakhiri sendau-gurau kita di sungai lalu pulang dengan badan basah dan menggigil kedinginan untuk segera mandi di rumah? Kembali berkumpul dengan ayah dan bunda, sembari makan pisang goreng dan menyeruput secangkir teh hangat yang diracik oleh tangan lembut mama kita?
Kawan...
Hujan sudah mulai reda. Apa kabarmu di rantau?
Jangan pulang sebelum petir berhasil menyambar padi...
Tapi ingat kawan... kita tak boleh lupa dan hanyut pada derasnya arus sungai
Kita mencipta bahaya, kita juga yang harus menyelesaikan sendau-gurau di tengan bahaya itu.
Lihatlah langit sudah mulai membiru
Saat hujan reda dan petir bosan tak berhasil menyambar padi
Disitulah waktu aku menunggumu pulang di kampung halaman...
Menantangmu bermain bola lusuh coklat di tengah hujan yang belum sempat kita rampungkan saat itu....
Bersambung.....
0 Komentar