UNTUK APA KULIAH JURUSAN SEKULER?

UNTUK APA KULIAH JURUSAN SEKULER?
Oleh: Kahar Pagi

“Sarjana olahrga yang ndak pernah olahraga ibarat
Sarjana Fiqih yang ndak pernah sholat”

Demikian beliau Tuan Guru Kamal mengingatkan penulis, ketika di sela-sela obrolan santai dengan para santri bada shalat subuh di sebuah Pesantren Mahasiswa di Yogyakarta. Seperti biasa beliau tak lupa menanyakan adakah di antara kami yang masih tertinggal shalat subuh.  

Sesekali beliau bertanya perkara jodoh, aktivitas harian, dan hal-hal ringan nan segar sebagai bahan obrolan. Suasana yang akrab itu kadang terasa seperti ketika Nabi ﷺ berbincang dan bertanya kabar sahabat bada shalat subuh.

Abdurrahman as-Syarqawi dalam kitab al-Khalifah al-Ula1 menceritakan; di suatu pagi seusai shalat subuh, Rasulullah  kemudian menghadap ke arah para sahabat dengan penuh perhatian lalu kemudian bertanya:
“Siapa gerangan yang pagi ini dalam keadaan berpuasa?
Umar bin Khattab menjawab “Wahai Rasul, semalam aku tidak berniat puasa, maka hari ini aku tidak berpuasa.”

Rasulullah  mengangguk pada Umar. Kemudian, beliau  pun mengalihkan pandangan kepada yang lain, menunggu adakah sabahat lain yang ingin menjawab.
Tak lama kemudaian Abu Bakar memberanikan diri menjawab: “Semalam aku juga tidak niat berpuasa wahai Rasul, tetapi sejak pagi ini aku berpuasa, In Syaa Allah.”

Selanjutnya Rasulullah  kembali bertanya kepada para hadirin di majelis bada shalat subuh itu: “Siapa diantara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?”
Umar bin Khattab kembali menjawab “Wahai Rasul, kita belum keluar sejak shalat shubuh tadi. Bagaimana bisa ada yang telah menjenguk orang sakit?” para sahabat  lain pun sependapat dengan jawaban masuk akal dari Umar.

Abu Bakar kembali memberi jawaban “Saudara kita, Abdurrahman bin Auf sedang sakit wahai Rasul, maka dalam perjalanan ke masjid, aku menyempatkan diri sejenak untuk menjenguknya.”

"Subhanallah” Rasullullah  tersenyum menatap Abu Bakar. Beliau  melanjutkan kembali Dan siapa jugakah yang hari ini telah memberi makan fakir miskin?”
Kembali Umar bin Khattab menjawab pertanyaan beliau , “Kami semua berada di sini sejak shalat berjamaah tadi, Kami belum sempat bersedekah wahai Rasul.” 

“Bicaralah, wahai Abu Bakar!” pinta beliau . “Aku malu wahai Rasul!, Memang tadi di luar masjid kulihat seorang fakir sedang duduk menggigil, sedang di genggaman putraku ‘Abdurrahman ada sepotong roti. Maka kuambil roti itu dan kuberikan pada lelaki itu.”
  
Kembali lagi kepada pengingat Tuan Guru Kamal untuk penulis “Sarjana olahrga yang ndak pernah olahraga ibarat Sarjana Fiqih yang ndak pernah sholat”. Kalimat pendek ini terasa amat menohok dan menggugah kesadaran kami. Bukan hanya itu saja, pada suatu kesempatan kuliah Islamic Worldview, penulis pernah mendapatkan pertanyaan yang hampir serupa dari beliau; “Mas, dalam pandangan islam manusia itu memiliki jasad dan ruh, lalu bagaimana pendapatmu tentang konsep Ruh dalam Pendidikan Jasmani?”  

Sontak saya pun tergelagap tak mampu berpikir, lalu menjawab sekenanya saja; “kan saya mahasiswa olahraga ustadz”. Saya berpikir jawaban itu akan memberikan pemakluman karena apa yang ditanyakan bukan bagian dari materi yang biasa saya pelajari di kampus. Namun Tuan Guru kembali mengejar saya dengan pertanyaan: “Lho… bukan kah anda orang Islam? Mestinya kamu bisa menjelaskan dengan konsep ilmu yang anda pelajari”


Pertanyaan semacam itu mulai menghantui alam pikiran dan menyita banyak perhatian saya. Pada kesempatan yang lain beliau juga pernah menyoal perkara ini kembali, saat beliau memberi kuliah untuk peserta Pengajian I’tikaf Ramadhan (PIR) yang diselenggarakan tahunan oleh pondok. PIR ini selalu diikuti oleh aktivis dakwah kampus dari berbagai daerah di Indonesia. Begini kurang lebih beliau menyampaikan tentang tanggungjawab kita pada Ilmu;

“Kalau tanggungjawab kita kepada Allah hanya sebatas Ilmu yang dipelajari seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadits, dan Studi Islam semacamnya, maka kasihan sekali mereka para mahasiswa yang kuliah mengambil jurusan ilmu umum seperti kimia, sosiologi, sejarah, elekto, apalagi seperti ilmu olahraga. Lantas apakah dengan Ilmu umum yang mereka pelajari mereka tidak berhak masuk surga dengan ilmunya?”

Setelah hari itu, mulailah penulis mencari dan mengumpulkannya sedikit demi sedikit apa yang kiranya bisa menjawab keresahan alam pikiran dan rasa penasaran penulis. Nampaknya hal kecil yang kita pelajari di kampus atau pun keterampilan yang kita peroleh dalam pergaulan hidup harus kita manfaatkan untuk kebaikan-kebaikan dakwah dan kebaikan. Sesederhana apapun itu. Kita harus terampil mengolah hal kecil, ketrampilan sederhana menjadi buah amal akhirat yang berharga.

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
Dia-lah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
(Q. S. Al-Mulk: 2)

Cara pandang kita terhadap sesuatu memang harus berdasarkan cara pandang islam. Begitu pula pemanfaatan ilmu atau ketrampilan yang telah kita pelajari dalam kehidupan. Seperti misalnya ilmu olahraga dan pendidikan jasmani, Ilmu faal, atau Kinesiologi. meskipun secara dzahir apa yang kita saksikan sekarang ini belum cenderung dalam kategori sesuai tuntunan islam, namun setidaknya ada upaya untuk terus menggali dan mempelajari tata aturan dan tuntunannya.

Dan yang paling pokok sebenarnya adalah tentang cara pandang pelaku ilmu tersebut, untuk siapa dimanfaatkan? dan untuk apa ilmu itu dimanfaatkan? Beruntung sekali penulis menemukan sebuah buku yang membuka pikiran, terjemahan dari kitab Shilatur-Riya>dhah bid-Di>n wa Dauriha> fi> Tansyi'ati asy-syaba>bil-Muslim karya Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwali Al-Maliki2 yang membahas beberapa hal di antaranya seputar dunia olahraga dan pendidikan jasmani.

Islam mengakui sebagian aktivitas keolahragaan masyarakat Arab, namun tidak sebagai objek yang menjadi tujuan. Sebab jika olahraga dijadikan tujuan, maka akan menyalahi tujuan hidup luhur nan mulia dari terutusnya Nabi Muhammad ﷺ, yakni mengisi aktivitas di bumi dengan beribadah (dalam artian yang luas) kepada Allah SWT semata.

Memperhatikan status olahraga sebagai wasi>lah, ia berfungsi untuk menyegarkan badan. Penyegaran ini praktis dibutuhkan, sebab kadang hati mengalami kebosanan dan keletihan akibat melakukan rutinitas secara kontinu. Sayyidina Ali Ra. berkata: “Istirahatkanlah hati ini, sebab ia akan menjadi letih seperti halnya badan”3 

Demikian sahabat Abu Darda memilih aktivitas permainan yang diperbolehkan untuk  mengistirahatkan hati. Abu Darda berkata: “Aku mengistirahatkan hatiku dengan sebagian permainan yang diperbolehkan, agar semakin semangat untuk menegakkan kebenaran”. Dalam hadits Nabi ﷺ juga disebutkan: “Istirahatkanlah hati, sewaktu-waktu”. (H.R. Ad-Dailami).

Sewaktu penulis masih aktif mengajar disalah satu swimming club for kids yang ada di Jogjakarta, penulis pernah merasakan betapa berat tantangan dan godaan untuk meninggalkan aktivitas mengajari anak-anak berenang. Padahal pada saat itu adalah satu-satunya pekerjaan tumpuan hidup bagi penulis. Bukan perkara tidak mampu mengajari berenang atau yang lain, namun kadang terbesit pemikiran apakah yang penulis kerjakan lebih mendatangkan manfaat atau madharat?

Suasana kolam renang memang kadang tidak cocok untuk para muda-mudi dan anak muda yang sekedar ingin bermain-main dalam hidup. Alih-alih ingin menyehatkan badan atau mencari sesuap nasi jika tak kuat-kuat iman bisa runtuhlah kemuliaan diri. Hingga akhirnya penulis pun memutuskan untuk menghentikan semua aktivitas mengajar berengan anak-anak yang sudah hapir 4 tahun dijalankan.   


Hingga berjumpalah penulis dengan salah satu buku Karya Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwali Al-Maliki yang telah kami sebutkan di atas, lantas penulis membaca sebuah hadits yang berbunyi;

“Setiap segala sesuatu selain mengingat Allah SWT adalah kesia-siaan dan permainan belaka, kecuali empat hal; seorang suami yang bersenda gurau dengan istrinya, seorang yang melatih kudanya, seorang yang berjalan antara dua sasaran panah dalam peperangan, dan seseorang yang mengajarkan berenang kepada orang lain”. (H.R. Nasai)4

Subhanallah!, ternyata aktivitas yang sempat penulis ragukan pengerjaannya merupakan implementasi dari pada hadits Nabi ﷺ. Dan setelah penulis renungkan ulang, mengapa ada masuk godaan dan hal yang bisa melalikan dalam aktivitas pengajaran renang tentu semata karena aktivitas itu bernilai pahala akhirat. Maka godaan sudah pasti datang, setan mana yang rela manusia mengerjakan kebaikan atas dasar syariát tanpa digoda?.

Wahai sahabat yang masih berjuang di arena kolam renang dan sejenisnya, bersabarlah dan tetap istiqomah menjalankan pengamalan hadits Nabi ﷺ. Siapa sangka pahala berlipat ganda di tengah besarnya godaan yang terus engkau tepis tiap kali datang mengujimu.

Sebagai penutup tulisan ringkas ini, penulis salinkan sebuah terjemah hadits yang in syaa Allah akan menguatkan niat dan cara pandang guru pendidikan jasmani, bahwa apa yang dilakukan seperti mengajari siswanya berlari, mengajarinya melompat, bahkan senam lantai dan segala jenisnya, benar-benar memilki tuntunan dan nas layaknya ibadah pada umumnya;

Diriwayatkan oleh Ahmad: Beliau ﷺ menyuruh anak-anak keluarga Al-Abbas (Abdullah, Ubaidillah, dan lain-lainya) berdiri berjajar lalu berkata kepada mereka, “Yang menang berlari menuju kepadaku akan mendapatkan sesuatu.” Merka pun balapan lari menuju beliau lalu mendarat di pangkuan beliau dan melompati punggung beliau, dan beliau ﷺ menjungkirbalikkan mereka serta bermain-main dengan mereka.5
  
Wallahu a'lam bish-shawabi.  








Catatan Kaki:
1 Abdurrahman Asy Syarqawy, Kitab al-Kholifah al-Ula (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Abu Bakar Ash-Shiddiq The Successor”  
2Terjemahan dari kitab Shilatur-Riya>dhah bid-Di>n wa Dauriha> fi> Tansyi'ati asy-syaba>bil-Muslim
karya Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwali Al-Maliki ke dalam bahasa Indonesia berjudul:
Fikih Sport (Pustaka Sidogiri, 2011) 
3Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwali Al-Maliki, Fikih Sport (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2011),
hlm 37
4Syekh Shalih Al-Munajid, Seni Interaksi Rasulullah  (Kartosuro: Aqwam, 2018), hlm 559



Posting Komentar

0 Komentar