SISTEM ZONASI PADA ZAMAN NABI ﷺ ?

SISTEM ZONASI PADA ZAMAN NABI ?
Oleh: Kahar Pagi
  
Dunia pendidikan sempat dihebohkan dengan suatu aturan baru yang dicanangkan oleh pemerintah, yaitu perihal kebijakan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru bagi sekolah-sekolah berstatus negeri khusunya.

“Ambyar” kiranya kata inilah yang pas mewakili kondisi beberapa sekolah bonafit dengan input anak-anak cerdas yang sebelumnya datang dari segala daerah bahkan kota atau provinsi lain. Sistem zonasi ini membatasi input penerimaan siswa baru yang cerdas dari berbagai daerah.

Meskipun pada tahun ajaran 2020/2021 pemerintah telah mengeluarkan aturan baru dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)1, namun prioritas penerimaan siswa baru sebuah sekolah tetap menitik beratkan pada domisili tempat tinggal terdekat siswa yang mendaftar pada sebuah sekolah. 

Dalam kebijakan penerimaan siswa baru di tingkat Sekolah Dasar Negeri (SDN) misalnya telah dibagi dalam 5 poin Zona yaitu: Zona 1, adalah siswa yang berasal dari satu padukuhan dengan lokasi sekolah yang bersangkutan. Zona 2, adalah siswa yang berasal dari kumpulan padukuhan terdekat diluar zona 1. Zona 3, adalah siswa yang berasal satu Desa dengan lokasi SD. Zona 4, adalah siswa yang berasal dari satu kecamatan dengan lokasi Sekolah. Zona 5, adalah siswa yang berasal penduduk satu Kabupaten diluar Zona 1, 2, 3 dan 4.


Demikian pula pada jenjang SMP dan SMA sederajat tetap menggunakan sistem zonasi namun lebih luas batasan wilayahnya.


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bapak Nadiem Makarim menjelaskan ada tiga alasan mengapa tetap mempertaahankan sistem zonasi pada PPDB tahun 2020. Pertama, Mengakomodasi siswa berprestasi dan tidak mampu. Kedua, memberikan flesibilitas pada daerah. Ketiga, pemerataan kuantitas dan kualitas guru.

Memang selain dari jalur Zonasi ini sebenarnya masih ada jalur penerimaan siswa baru lainnya, yaitu jalur afirmasi, jalur perpindahan tugas orang tua, dan jalur prestasi. Namun prosentase prioritas terbesar dari semua jalur tersebuat tetap pada sistem Zonasi.

Bagi sebagian orang kebijakan ini terasa memberatkan, terlebih bagi orang tua yang memiliki anak yang unggul secara akademik tidak bisa lagi memilih sekolah sesuai kehendaknya karena terbatas wilayah domisil, teritorial/zona tempat tinggal dengan sekolahnya.

Di sisi lain ada pula orang tua yang diuntungkand dengan sistem ini, karena pada akhirnya bisa menyekolahkan anaknya dengan mudah untuk masuk sekolah unggul di sekitaran domisili rumah mereka, meski secara kemampuan akademik bisa jadi tidak terjaring dalam seleksi sekolah unggulan tersebut jika dengan sistem penerimaan yang dulu.

Sekolah berstatus unggulan yang biasanya diburu oleh para calon siswa baru dari berbagai daerah dan terbiasa mengelola anak-anak cerdas kini harus berupaya keras menyajikan pendidikan untuk siswa dengan kemampuan dan kecerdasan beragam dari daerah lingkungan sekolahnya sendiri.

Tentu hal ini adalah sebuah tantangan baru bagi lembaga sekolah dan guru. Sebaliknya ada sebuah sekolah yang biasa-biasa saja dengan guru yang biasa-biasa saja harus tetap bertahan dan maju dengan input siswa yang mereka peroleh. Pandangan saya pribadi sistem zonasi ini secara tidak langsung menghancurkan status sebuah sekolah yang terkesan berkasta-kasta.

Hal ini sejalan juga dengan kebijakan pemerintah sebelumnya tetang penghapusan label sekolah seperti, Rintisan Sekolah Berstandar Nasional (RSBI), Sekolah Berstandar Nasional, dan Sekolah Bersatandar Internasional.  

Kebijakan sistem zonasi tidaklah semua buruk dalam cara pandang pendidikan kita. Meski harus banyak pembenahan dan penyempurnaan selain dari pada sistem itu sendiri, peran sebuah lembaga sekolah sebagai penggerak perubahan dalam ranah pencerdasan masyarakat dan generasi penerus masa depan harus di up-grade.

Sudah sewajarnya sebuah lembaga sekolah memberikan pelayanan pada masyarakat dan warga sekitar dimana gedung sekolah itu di bangun. Sekolah tidak boleh menjadi komuditas elite yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang kaya atau golongan tertentu, menjadi tempat berkumpulnya anak-anak cerdas dari berbagai daerah namun mengabaikan pelayanan pendidikan anak-anak di lingkungan sekitarnya.

Jika hal ini yang terjadi maka sesungguhnya pendidikan kita sedang mengalami sebuah kemunduran kembali ke zaman kolonial dimana pendidikan mengasingkan bangsa pribumi kalangan rakyat jelata.

Tidak dapat dipungkiri bahwa input yang berkualitas akan berpotensi lebih besar keberhasilanya dalam menghasilkan output pendidikan yang baik. Namun sebuah proses pendidikan itu tidak kalah penting untuk dijadikan titik tekan pembenahan dalam pendidikan. Jika kita serius dalam mengelola proses pendidikan yang bermutu tentu akan menghasilkan output yang berkualitas, sekalipun input pendidikan awalnya tidak selalu dari suatu yang baik secara bawaan.

Namun untuk mengelola sebuah proses pendidikan yang berkualitas sekolah membutuhkan para guru dan sumberdaya pendidik yang bermutu atau minimal mereka mau untuk bertumbuh. Seorang alim pernah berkata “kemunduran Ilmu pengetahuan dimulai dari Guru yang berhenti belajar”.

Teringat sebuah nasihat dari guru kami seorang toko Muhammadiyah yang berasal dari Sumatra Barat, beliau adalah Prof. Dr. Buya Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. berpesan pada kami saat berdiskusi tentang penerapan sistem zonasi.

Menanggapi berita yang beredar tentang seorang anak tamatan SDN Pekiringan Alit 02 yang membakar belasan piagam penghargaan lantaran tidak diterima sekolah di SMPN 1 Kajen yang ia idam-idamkan. Padahal anak tersebut adalah siswa berprestasi dan berhasil menyabet berbagai juara, diantaranya seperti menuis halus, cerita islami, tilawah, adzan, nyanyi solo, nyanyi grup, dan dokter kecil.

Alhasil karena adanya sistem Zonasi seorang anak membakar ke 15 piagam miliknya, akhirnya terpaksa mendaftar di sekolah swasta MTS Muhammadiyah di daerahnya. Beliau Buya Yunahar Ilyas menuturkan kisah masa lalunya kepada kami:  

“Saya tamat SD diterima di SMPN 1 Bukittinggi, SMP paling baik di Bukittinggi. Sebelum sekolah dimulai saya dicabut dari sekolah itu oleh kakak atas restu orang tua, dimasuklah ke sekolah PGA Penampung, tempat menampung orang-orang yang tidak diterima di sekolah Negeri.

Dinding sekolah papan disusun-susun, lantai setengah cor berlobang-lobang, bangku tua-tua, tapi saya tetap semangat. Alhamdulillah di sekolah penampungan itu saya mendapat guru-guru yang luar biasa, hebat-hebat, Pak Zulkarnen, Pak Rusdi, Pak Rusli, Ibu Nurma, Ibu Nani, Ibu Anidar dll. Kami merasa lebih hebat dari anak-anak negeri.

Tiga tahun kemudian sekolah itu dinegerikan oleh Pemerintah. Kemudian berobahlah jadi MTSN top di Bukittinggi dengan gedung baru yang megah. Tamat PGA itulah saya melanjutkan kelas 5 dan 6 di PGAN Padang, PGA paling baik di Sumatra Barat. Kalau ingat guru-guru saya itu, saya bisa menangis karena merindukan mereka dan berhutang budi.” 

Para guru dan tenaga pendidik di sekolah akan berpengaruh teramat besar terhadap keberhasilan belajar siswanya, juga berpengaruh pada berjalanya proses pendidikan di dalamnya. Keberhasilan siswa tergantung bagaimana seorang guru dan proses pendidikan itu berjalan.

Inilah yang harus ditumbuhkan di dalam lembaga sekolah manapun baik negeri ataupun swasta. Sekalipun sekolah swasta saat ini tidak begitu terdampak dengan sistem zonasi yang ada namun upaya memberikan pendidikan kepada masyarakat sekitar tempat berdirinya banguna sekolah itu harus tetap dijalankan.

Lembaga pendidikan seperti sekolah harus berperan aktif mencerdaskan warga masyarakat sekitarnya yang terdekat, dengan memperbaiki sistem dan proses pendidikan di dalam sekolah, dibarengi dengan semangat para guru untuk senantiasa bertumbuh, maka tantangan dari efek sistem zonasi menjadi lebih mudah teratasi.

Jangan sampai sebuah sekolah menjadi seperti kelompok Asy’ariyyin yang disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ. Kelompok Asy’ariyyin adalah kaum cerdas cendikia, namun tetangga sekitar mereka adalah penduduk perairan dan lembah yang berperangi kasar.

Dalam sebuah khutbah Rasulullah ﷺ bersabda:
“sungguh mengherankan suatu kaum enggan memberikan pemahaman agama kepada orang lain, tidak mengajari mereka, tidak berusaha mencerdaskan mereka, tidak menganjurkan berbuat baik dan tidak mencegah mereka berbuat mungkar.

Mereka juga enggan belajar dari orang lain, enggan mendalami ilmu, dan enggan meminta nasihat. Demi Allah, suatu kaum hendaknya mengajari kaum yang lain, memberi mereka pemahaman, mencerdaskan mereka, menganjurkan mereka berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar.

Begitu pula seuatu kaum hendaknya belajar dari kaum lainya, berusaha mencari pemahaman dan meminta nasihat kepada mereka. Sebab jika suatu kaum enggan melaksanakan anjuran-anjuran itu, sama halnya mereka mengharapkan aku menyegerakan hukuman bagi mereka di dunia”

Menurut para hadirin yang mendengar khutbah itu bahwa golongan yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ adalah kelompok Asy’ariyyin mereka adalah kaum cerdas cendikia, namun tetangga sekitar mereka adalah penduduk perairan dan lembah yang berperangi kasar.

Mendengar hal tersebut kelompok Asy’ariyyin lalu mendatangi Rasulullah ﷺ dan bertanya: “Ya Rasulallah, mengapa Tuan memuji suatu kaum, sementara kami Tuan sebut sebagai kaum yang tidak baik? Apa salah kami?

Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh, hendaknya suatu kaum (yang memiliki pengetahuan) bersedia memberikan pemahaman kepada tetangganya, mencerdaskan mereka, menganjurkan berbuat baik dan mencegah mereka berbuat mungkar.

Dan hendaknya suatu kaum (yang tidak memiliki pengetahuan) bersedia belajar kepada tetangganya, mendengarkan nasihat, dan mencari pemahaman dari mereka. Jika itu tidak dilakukan, maka sama halnya mereka mengharapkanku menyegerakan hukuman bagi mereka di dunia.”

Mereka (kelompok Asy’ariyyin) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus berusaha mencerdaskan orang lain?” Rasulullah mengulangi ucapanya tadi, merekapun mengulangi pertanyaan yang sama, dan Rasulullah tetap pada jawabannya. Mereka lalu mengatakan, “Berilah kami waktu setahun (untuk melaksanakannya).” Rasulullah pun memberi waktu setahun agar mereka memberikan pemahaman kepada tetangganya, mengajari dan mencerdaskan mereka.2

Demikianlah pandangan Nabi terhadap upaya penghapusan kebodohan dan peringatannya terhadap kelesuan pendidikan di tengan ummatnya. Demikian besar dan pentingnya hak tetangga sehingga Nabi ﷺ menempatkan perhatian yang amat bersar terhadap tetangga.

Sudah semestinya perhatian sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan kita saat ini harus juga tertuju pada pemerataan pendidikan dan upaya pencerdasan masyarakat yang berada di sekitar bangunan gedung sekolahnya.

Lembaga pendidikan seperti sekolah harus memiliki visi keumatan dan pencerdasan yang mengakar. Karena pemerataan pendidikan amatlah penting dalam pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa. Apabila dalam sebuah bangsa hanya segelintir orang saja yang cerdik cendikia belumlah cukup untuk mewujudkan hajat kemajuan bangsa.

Bukankah kualitas kepemimpinan sebuah bangsa adalah cerminan dari masyarakat yang dipimpinya?. Maka jalan yang paling tempat untuk mewujudkan sebuah bangsa yang maju dan bermartabat adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan secara merata._


Catatan Kaki:
1 Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 Tentang PPDB
2Abdul Fattah Abu Ghuddah, Muhammad Sang Guru (Temanggung: Armasta, 2015), hlm 14-15.


Posting Komentar

0 Komentar