MELANGITKAN PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN DI ERA “NEW NORMAL”

MELANGITKAN PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN 
DI ERA “NEW NORMAL”
Oleh: Kahar Pagi


Simpang siur tentang langkah penerapan kebijakan “new normal” yang diwacanakan oleh Pemerintah Indonesia nampaknya sedang menjadi topik hangat yang amat relevan untuk di bahas. Hal ini menarik kita simak karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan keselamatan jiwa masyarakat Indonesia.

Respon terbaru tetang wacana “new normal” datang dari salah satu Ormas Islam terbesar Negeri ini yaitu Muhammadiyah. Melalui Pernyataan Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 002/Per/I.0/I/2020 tentang pemberlakuan “new normal”, disebutkan bahwa laporan dari BNPB pandemi Covid-19 belum bisa diatasi.

Muhammadiyah menyayangkan sikap Pemerintah yang justru melonggarkan aturan dan mulai mewacanakan “new normal”. Muhammadiyah memberikan masukan kepada Pemerintah untuk mengkaji dengan seksama pemberlakuan “new normal”.

Menurut Muhammadiyah ada 5 hal yang harus dijelaskan dengan objektif dan transparan kepada masyarakat
(1) dasar kebijakan “new normal” dari aspek utama yakni kondisi penularan Covid-19 di Indonesia saat ini,
(2) maksud dan tujuan “new normal”; 
(3) konsekwensi terhadap pengaturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB dan berbagai layanan publik, 
(4) jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan “new normal” 
(5) persiapan-persiapan yang seksama agar masyarakat tidak menjadi korban, termasuk menjaga kemungkinan masih luasnya penularan Covid-19.1


Pernyataan senada juga datang dari Pemda DIY yang belum memutuskan untuk memberlakukan “new normal”. Sekda DIY, Baskara Aji di Bangsal Kepatihan menyatakan, “Pemda DIY juga akan melihat hasil dari perpanjangan masa tanggap darurat wabah ini lebih dahulu. Termasuk yang berkaitan dengan kepatuhan atau kedisiplinan masyarakat dalam mentaati protokol kesehatan”.2

Melihat perkembangan kondisi yang ada, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta ada kemungkinan bahwa lingkungan pendidikan dan sekolah akan mengalami perpanjangan masa pembelajaran jarak jauh hingga akhir semester. Menyikapi kemungkinan ini, maka lembaga pendidikan semestinya melakukan langkah antisipasi terutama dalam hal pengajaran dan pendidikan kepada para siswanya.

Masa pembelajaran jarak jauh yang selama ini telah dilakukan, paling tidak 3 bulan yang lalu harus bisa menjadi evaluasi bagi sekolah dan terkhusus para tenaga pendidik. Perlu kiranya mengiventarisir dan mencari solusi untuk permasalahan dan kendala yang dialami di lapangan selama proses pembelajaran jarah jauh selama ini. Hal ini adalah senjata untuk mengupayakan pelayanan pendidikan yang lebih baik.


Dalam tulisan ini kami ingin sedikit berbagi tentang kondisi dan jalanya sekolah islam melaksanakan program-program pendidikan selama masa pandemi berlangsung. Sebagian besar sekolah islam memiliki program pembelajaran akhlaq dan Al-Qur’an yang menjadi titik tekan pendidikan yang dijalankan, namun dalam situasi pandemi Covid-19 sudah pasti program untuk dua segmentasi ini menjadi terhambat.

Terlebih lagi pembelajaran Al-Qur’an yang menghajatkan metode Talaqqi (belajar secara langsung berhadapan dengan guru) atau juga Mustafahah yang berarti belajar dari mulut ke mulut, makna lebih mudahnya saat belajar Al-Qur'an, dengan memperhatikan gerak bibir guru untuk mendapatkan pengucapan makhrojul huruf dengan benar dari guru yang mengajar. 
Penanaman akhlaq atau budi pekerti luhur yang lebih banyak diajarkan melalui pembiasaan dan keteladanan pun menjadi korban karena kondisi pandemi ini. Terkecuali siswa-siswi yang memiliki orang tua melek dalam persoalan agama islam.

Di sinilah pentingnya mengapa orang tua yang terlanjur menyekolahkan anaknya di sekolah islam harus semangat untuk belajar, minimal ilmu-ilmu islam yang dipelajari anaknya di sekolah, supaya program yang telah dirancang oleh sekolah untuk siswa dapat selaras dan sejalan dengan kondisi di rumah tinggal mereka masing-masing.


Sistem pembelajaran online sebagai solusi pendidikan di masa pandemi Covid-19 sepertinya belum bisa mewakili keseluruhan proses pengajaran dan pendidikan. Terlebih sekolah-sekolah islam yang sebagian besar proses pendidikan mereka mengedepankan pembiasaan ibadah, mutabaah, uswah, Qudwah, talaqqi, murajaah, dan Mustafahah.

Namun di tengah keterbatasan itu, yang perlu dilakukan oleh para guru di sekolah islam ialah harus terus melakukan tatap muka dengan siswa-siswinya sekalipun melalui talaqqi virtual atau murajaah call. Para guru tidak perlu risau karena kurang maksimal dalam pembelajaran yang dilakukan di masa pandemi, toh kondisi ini adalah rukhsoh yang mendatangkan banyak hikmah.

Bahkan, bisa jadi saat kondisi sulit ini Allah SWT tidak hanya menilai dari apa yang telah bapak/ibu guru ajarkan, dari seberapa banyak materi yang tersampaikan, tapi juga dari seberapa keras usaha yang telah dilakukan untuk tetap menegakkan islam melalui pengajaran dan pendidikan.

Bukankah salah satu ciri eksistensi manusia adalah ia memiliki al-iradah (kehendak) untuk melakukan amal dan kebaikan. Para guru dan pendidik muslim yang beriman tak perlu risau dengan kondisi dan keadaan apapun yang menimpa, sebab jika kita bersandar pada ajaran agama dan mengikuti petunjuk syariát dengan benar, menjadi tenanglah jiwa.

Keimanan yang tertanam dalam dada, itulah yang akan membimbing kita melewati segala zaman, kondisi dan keadaan._  

  
Catatan Kaki:  
1 Pernyataan Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 002/Per/I.0/I/2020 tentang
pemberlakuan “new normal”
2 KRJogja.com (28 Mei 2020).

Daftar Bacaan:
A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qurán (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).



Posting Komentar

1 Komentar