Cinta Si Bujang Jauh

Benarlah orang yang mengakatan bahwa mana bisa dinasihati seorang pemuda yang sedang mabuk cinta. Walau dihalang-halangi didaki juga gunung yang tinggi, walau dikata, dinasihati berpura tuli saja pada apa kata orang lain. Jika tekat sudah bulat, keputusan telah mantap tak perduli hujan badai atau sekedar topan, nyawa jua sudi ia persembahkan demi meraih cintanya itu.

                Begitu kira-kira saat Si Bujang Jauh (Malik namanya) jatuh cinta. Gandrung kepada Ilmu dan seorang guru yang telah lama didengarnya sejak ia menempuh sekolah di thawalib. Perguruan milik ayahnya sendiri. Sayang sang guru berada jauh dari kampungnya. Harus berlayar membelah lautan merajut ombak dan menyulam angin sudi hidup terasing jika hendak ingin menuntut ilmu pada sang guru. Namun mau dikata apa? Si bujang jauh sudah terlanjur jatuh cinta. Nasihat sudah tak mempan, jika dilarang justru cintaya semakin ingin melawan. Sebab tabiat cinta tak selalu tak ingin dikekang. Ia ingin bebas menjelajah kemanapun bisa dijumpainya bahagia. Walau harus menempuh derita dan sengsara cinta yang sudah terlanjur berkobar pada diri seorang pemuda ibarat obat bagi segala penyakit. Maka tak adalah lagi derita dan sengsara jika seorang pemuda telah sudi menempuh jalan cinta. Ia hanya mengenal kata berjuang sampai dapat atau mati muda sebab tak pernah pergi mencoba meraihnya.

“Tak usah kau pergi Malik” nasihat Abuyanya pada Si Malik yang hendak pergi meninggalkan kampung halamanya.
“Ke Jawa mau cari apa?” tambahnya lagi memojokkan Si Malik.
“Ananda mau menuntut ilmu Agama Abuya” jawab Si Malik dengan bulat.
“Kalau mau cari Ilmu Agama di sini tempatnya. Di Minangkabaw” pungkas Ayahnya pada Malik.
“Tapi Abuya…” begitulah Si Bujang Jauh jika sudah bertekad. Walau ditentang tetap ia akan berangkat. Sebab pesona sang guru dan rasa cintanya kepada Ilmu sudah meluap sampai di ubun-ubun. Apabila tak lekas ia turuti kehendak cintanya bisa saja ia mati sebab tersumbat otaknya oleh cita-citanya sendiri, hancur lebur jiwanya jika tak segera disiram oleh perjumpaan antara dirinya dnegan gurunya itu.

“Malik… biar bagaimanapun aku melarang tentu kau pasti akan berangkat juga. Jika kau jadi pergi ke Jawa jangan lupa kau temui kakak iparmu di Pekalongan. Mintalah kepadanya untuk mengjarimu Agama.” Begitu akhirnya Ayah Si Malik memberi keputusan kepada putranya.
Siapakah sebenarnya Sang Guru yang hendak malik temui di Jawa itu? Mengapakah Malik begitu besar hasratnya untuk segera bertemu? Apakah yang membuat jiwa si Malik begitu terdorong untuk menimba ilmu kepadanya? Seolah semua hal dalam otaknya hanya berisi segala sesuatu tentang Si Guru itu.

Malik berangkat ke Jawa tanpa bekal dari ayahnya. Tak ada rupiah di kantong, tak banyak bekal dalam tas. Ongkos perjalanan pun ia dapat dari iuran yang dikumpulkan kawan-kawannya di kampung. Mereka tahu betapa besar tekad Malik pergi ke Jawa.
Malik pemuda Minang yang baru berusia 16 Tahun memutuskan untuk berlayar ke Jawa. Hendak berjumpa seorang guru yang selama ini Malik impi-impikan. Menurut penuturan orang Sang Guru ini selain seorang yang sangat piawai berpidato, ia juga seorang yang sangat kharismatik, otaknya cerdas bagaikan cermin yang memantulkan cahaya bagi para murid-muridnya. Apabila sudah datang ia masuk kelas semua orang terdiam dan terpukau dengan kecemerlangan otaknya saat memaparkan materi dibalut dengan retorika yang empuk dan nyaring. H.O.S Tjokroaminoto namanya. Ialah Sang Guru yang di idamkan Malik. Namanya sudah tersiar sampai Sumatra dan pelosok Negeri. Tuan Tjokro yang sanbgat terkenal dengan gagasan Islam dan Sosialismenya. Tjokroaminoto adalah seorang tokoh pendiri organisasi Serikat Islam (SI) yang berjuang melawan penjajahan melalui jalur keorganisasian.

Malik pergi bersama Saudara Ayahnya, seorang saudagar batik yang hendak pergi berjualan ke Jawa. Dibawanyalah Malik ke Jogja. Begitu sampai di Jogja sebelum Malik bertemu dengan Tuan Tjokroaminoto ia lebih dahulu dipertemukan dengan Ki Bagus Hadikusumo seorang kyai di daerah kauman untuk belajar Ilmu Logika. Setelah selesai belajar dengan KI Bagus, Malik kemudian bergabung bersama kawan-kawanya untuk belajar kepada Guru Idolanya Tuan H.O.S Tjokroaminoto. Namun karena persyaratan jika ingin belajar dengan Tuan Tjokro harus minimal berusi 18 tahun maka Malik yang baru berusia 16 tahun dikatrol usianya sehingga diizinkanlah ia belajar dan bergabung bersama SI (Serikat Islam).

Tuan Tjokroaminoto sangat tertarik dengan Si Malik ini. Selain karena ia adalah murid termuda yang ada di situ Malik juga seorang murid yang sangat rajin menyalin semua pelajaran yang disampaiakn oleh Tjokroaminoto. Malik sangat terbuka hatinya menerima ilmu. Maka benar apa yang disampaiakan oleh Imam Syafi'i “Ilmu itu adalah binatang buruan, dan tulisan adalah  ikatannya, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.”. Tentu tidak salah jika Malik berhasil dalam belajarnya. Namun terkadang kita begitu malas untuk mencatat pelajaran yang disampaiakan oleh para guru. Sebab kalau hanya sekedar memperhatikan seringkali kita lupa dan sulit untuk mengecek kembali hal yang telah kita pelajari. Tapi jika kita mau mencatat maka yang kita lakukan adalah menyimak sekaligus memperhatikan.

Malik yang sudah kadung cinta kepada ilmu begitu asyik dan antusias belajar banyak hal di Jawa. Selain dari gurunya Tjokroaminoto, Malik juga belajar beberapa ilmu dengan guru-guru yang lain. Jika tadi Malik belajar Ilmu logika dengan Ki Bagus Hadikusumo, belajar Islam dan Sosialisme kepada Tjokroaminoto, Malik juga belajar dasar-dasar ilmu hukum islam pada H. Fakhruddin, belajar Ilmu Sosiologi kepada Suryopranoto, dan setelah selesai Malik berguru pada Kakak iparnya sendiri yaitu Sutan Mansur di Pekalongan. Dari beliau Malik belajar tentang Intisari sejarah Islam, dan dari beliulah diturunkan semua Ilmu Ayahnya kepada Malik. Sutan Mansur melihat Malik memiliki bakat yang bagus maka dibinalah dia, diajari, dilatih, dan diberi ilmu. Tidak heran karena Sutan Mansur adalah murid kesayangan Ayah Si Malik karena selain ia murid yang paling cerdas, ia juga seorang yang berperilaku lembut dan sangat menghormati Gurunya. Ayah Malik juga sebenarnya adalah seorang Ulama hebat dan sangat ternama di Padang. Haji Rasul namanya.

Malik merasa bahwa setelah mendapatkan pendidikan di Jawa ia mendapatkan hal yang baru ia pahami dari Islam. Menurutnya Islam adalah sesuatu yang hidup. Dari para gurunya itulah dia tahu bahwa Islam adalah suatu perjuangan dan pendirian yang dinamis. Bukan sekedar rutinitas ibadah yang hambar tanpa penghayatan tetapi lebih dari itu.

Usia 16 tahun Malik telah belajar begitu banyak ilmu dengan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh pada masa itu. Kecintaannya kepada Ilmu ia tempuh dengan pergi jauh mencari guru yang hebat. Hanya saja jika kita melihat kebanyakan pemuda masa sekarang pada usia 16 – 17 tahun apakah masih sama semangat serta kegigihannya seperti anak seusianya saat dulu. Seperti halnya saat Malik masih berusia 9 – 10 tahun, untuk membaca buku saja Malik harus mengumpulkan uang sakunya lalu ia gunakan untuk menyewa buku di sebuah persewaan buku, atau Malik harus bekerja bantu-bantu disebuah percetakan agar upah kerjanya bisa ia gunakan untuk menyewa buku. Membaca terus pekerjaanya setiap hari. Dalam satu hari Malik bisa menghabiskan 1 judul buku. Begitulah Malik. Uangnya ia gunakan untuk meraih apa yang ia cintai, apa yang ia sukai. Tetapi kita anak jaman sekarang lebih suka menghabiskan waktu di sosial media. Memilih foto mana yang paling keren untuk kita pamerkan dengan caption yang seger. Buku pelajaran kita lipat saja di tas sekolah lalu entah kapan kita buka kembali. Baru kita klabakan mencari buku catatan ketika hendak mendekati ujian akhir semester, atau bahkan semalam sebelum ujian berlangsung esok paginya.

Setelah selesai Malik belajar di Jawa selanjutnya ia memutuskan untuk kembali lagi pulang ke kampung halamannya di Tanah Minang Sumatra Barat. Satu Tahun lamanya Malik menuntut ilmu di Jawa dengan harapan bisa menjadi bekal untuknya menjadi Ulama seperti yang dicita-citakan oleh Ayahnya semenjak ia lahir.

Sesampinya Malik di Padang, Malik memulai debutnya menjadi seorang mubaligh pada usia 17 Tahun. Malik mulai mengisi ceramah-ceramah bagi warga masyarakat. Namun ternyata salah sangka. Ia kira ilmunya telah cukup untuk mengarungi sebuah perjuangan demi perbaikan masyarakat agar lebih baik. Justru cemooh dan kritikan datang menyerbu Malik yang masih muda belia itu. “Malik hanya pandai berpidato saja, tapi tak pandai bahasa Arab, tak pandai baca Al-Qur’an” begitulah cibiran datang pada Malik. Begitu juga nasihat Ayahnya tentang diri Malik itu. “Pidato-pidatomu, bacaan-bacaanmu itu tidak ada maknanya. Isi dahulu dadamu dengan pengetahuan baru Pidatomu itu ada maknanya”. Begitulah kritik keras datang bertubi-tubi pada diri Malik.

Resah tak karuan. Tapi Malik tak pernah putus asa, sebab berputus asa bukanlah tabiat seorang muslim sejati. Jika jatuh maka harus bangkit lagi. Jika masih belum berhasil maka harus berani mencoba lagi. Berjuang terus demi cita-citanya itu. Begitulah semestinya pemuda muslim yang sejati. Malik tak ingin begini terus. Ia harus menambah Ilmunya. Maka pergilah Malik naik Haji ke Makkah untuk beribadah sekaligus belajar di sana pada usia 19 tahun. Di sanalah nanti Malik bertemu salah satu tokoh Negeri ini yang sangat hebat yaitu H. Agus Salim. Selain itu Malik juga bertemu dengan orang pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram dari kalangan non Arab. Ialah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Seorang ulama asal Indonesia ketururan Minangkabaw, kampung halaman Malik. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy adalah guru para Ulama Nusantra yang datang ke Makkah termasuk Ayah dari Malik.

Hampir satu tahun lamanya Malik menuntut Ilmu di sana. Pada usia 20 tahun Malik juga akhirnya bisa menjadi pengisi khotbah berkala di Masjidil Haram dengan izin Syekh Abu Samah dan Amir Faisal putra dari Ibnu Saud Pendiri Kerajaan Saudi Arabia. Hingga akhirnya dimita untuk pulang ke Indonesia oleh H. Agus Salim. Beliau menasihati malik agar melanjutkan perjuangan di negerinya.

Akhirnya pulanglah Malik ke Indonesia. Setelah itu mulailah Malik mulai berkiprah dalam bidang tulis menlis dan penerbitan majalah. Kekuatan tulisanya banyak memukau para pembaca. Pelajaran Islam dibalut dengan nuansa sastra yang akrab dan mengalir membuat para pembaca begitu mengagumi karya-karyanya. Banyak buku dan cerita novel serta sastra yang Malik hasilkan, karyanya sangat banyak bisa kita jumpai sekarang. Malik juga sempat menjadi seorang wartawan yang menulis untuk majalah Tentara dan Al-Mahdi yang terbit di Makasar, lalu di Pedoman Masyarakat ia menjadi juru dakwah dan penulis buku. Tenggelamnya kapal van der wijk juga merupakan sebah novel fenomelal yang berhasil ia karang.

Malik adalah seorang yang berhasil mendapatkan dua kali gelar Dokror Honoris causa yaitu dari Universitas Al-Azhar, dan Universtas Kebangsaan Malaysia. Sekalipun Malik tidak pernah menyelesaikan belajarnya dijenjang pendidikan formal sekalipun. Tapi karena keluasan Ilmu yang ia miliki maka semua hal itu mampu ia raih.

Malik selain sebagai seorang Ulama Pujangga yang sangat produktif menulis dan menghasilkan karya, Malik juga pernah menjadi perwakilan Umat Islam dalam perjuangan lewat kancah politik sebagai perwakilan dari unsur Muhammadiyah mewakili Partai Masyumi menjadi anggota Konstituante (badan pembuat undang-undang dasar baru dan dasar Negara Indonesia). Selain itu Malik juga pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia. Sebelum akhirnya Ia mengundurkan diri karena diminta untuk mencabut fatwa tentang “Umat Islam haram hukumnya mengikuti perayaan upacara Natal dan mengucapkan Selamat Natal”. Saat itu pemerinta menolak mentah-mentah fatwa itu. Mentreri Agama ketika itu marah-marah. Dia meminta Malik membatalkan fatwa itu atau ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai mentri Agama. Namun Malik menolak dan berkata “bukan beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai ketua MUI”. Rekan-rekan Malik menyambut gembira akan sikap yang dipilihnya.

Si Bujang Jauh, ialah panggilan Abuyanya kepada Malik kecil ketika itu yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Buya HAMKA. Beliaulah pengarang Tafsif Al-Azhar yang fenomenal itu. Tafsir yang Ia tulis ketika ia mendekam di penjara atas tuduhan keji yang tidak berbukti dialamtkan padanya. Beliau difitnah dengan tuduhan melakukan gerakan subversive kepada pemerintaha Sukarno ketika itu. Padahal sama sekali HAMKA tak pernah terlibat dan melakukan hal itu. 2 tahun lamanya ia mendekam di penjara, namun selama itu pula Allah memberikan kelasan bagi HAMKA menuliskan Maha Karyanya. Jikalau kita mendengar sekolah bernama Al-Azhar di Negeri ini, itu dalah mula-mula HAMKA yang mendirikan sekolah itu yang telah berkembang hingga sekarang ini.

Sahabat sekalian, sekiranya boleh marilah kita belajar dari perjalanan cinta Si Bujang Jauh. HAMKA yang ketika berusia muda sudah merelakan dirinya untuk mencintai Ilmu, berkorban untuk kepentingan masyarakat banyak, orang sekitar, tetangga hingga keluarga, Negara serta Agamanya.


Si Bujang Jauh tentu mengalami banyak rintangan dan Ujian dalam menempuh cinta dan citanya hingga sampai pada titik itu. Demikianlah kita sebagai pemudah selayaknya tak ragu lagi membentangkan layar untuk segera melaju membelah lautan merajut ombak dan menyulam angina, sudi hidup terasing jika hendak menuntut ilmu dan cita-cita. Sebab taka da keberhasilan tanpa cita-cita yang tinggi dan pengorbanan dalam meraihnya. 



Kaharpagi
Agustus 2017

Posting Komentar

0 Komentar