Kepada
saudara-saudaraku seusia
Kepada bapak ibu guru di
sekolah-sekolah anak negeri ini
Kepada orang tua yang menyayangi
putra-putrinya tanpa cacat
Juga kepada para mahasiswa dan
pelajar yang sedang menempuh masa belajarnya di kampus-kampus,
Saudaraku, bukankah kita menghendaki
kebaikan penuh dari setiap generasi yang terlahir di negeri ini. Setiap
generasi yang lahir pasti akan berhadapan dengan tantanganya masing-masing. Di
jaman para pendahulu kita pastilah mereka ada tantangan jaman yang harus mereka
hadapi, seperti kemerdekaan negara kita, harus bagaimana menentukan dasar
negara kita setelah merdeka, lalu membangun pemerintahan dan tatanan sosial
masyarakatnya. Tentu sama halnya dengan generasi sekarang yang harus berhadapan
dengan tantangan yang ada di jaman-jaman seperti sekarang. Kita sedang
berhadapan dengan era globalisasi yang begitu luar biasa lalu kita bertanya
bagaimana kondisi pendidikan kita saat ini? bagaimanakah nasib kesejahteraan
rakyat kita? Belum lagi kebobrokan para pemimpin kita di pemerintahan palah
menjadi sandiwara televisi dan tontonan rakyat yang memalukan. Kalau begitu nyatanya,
memang putra-putri negeri ini memiliki tugas yang tidak sedikit, selain juga
menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Sementara di sisi yang sama kita
kadang mendengar kabar tidak mengenakkan hati tentang pemuda ataupun pelajar-pelajar
kita yang katanya begini dan begitu. Tawuran antar pelajar terjadi di kota dan
daerah-daerah, pembunuhan sesama remaja menjadi hal yang kerap kita jumpa,
bunuh diri karena tidak lulus UN jadi tradisi dari tahun ke tahun, kasus
obat-obatan terlarang seolah bukan lagi berita yang mengagetkan, dan banyak lagi
kabar memilukan hati ini yang lainnya. Sungguh kita bersedih menonton televisi
dan membaca berita di koran-koran hari-hari ini. Lalu sebenarnya apa yang
membuat para generasi kita sampai berbuat demikian? Para orang-orang tua kita
yang katanya cerdas dan terdidik berperilaku kejam dan licik? Walau katanya pendidikan
di negeri ini sudah banyak berkembang? Sekolah-sekolah sudah banyak berdiri
dimana-mana? Sekolah di kota di bangun megah-megahnya, biaya sekolah sudah di
gratiskan sampai tas dan pensilnya, meski ada juga yang bayar hingga seharga
sawah ladang petani kita, bukankah para guru muda dari lulusan awal sudah di
kirim ke pelosok-pelosok untuk mengajari baca tulis anak negeri kita di jauh
sana? Lalu kenapakah anak-anak negeri
ini masih saja masuk dalam berita televisi yang menyayat hati itu?
Mari kita coba belajar dari
sepenggal tulisan yang apik milik seorang bapak bangsa yang buah pikiranya tak
patah tergores oleh tahun-tahun yang datang untuk coba menghapusnya. Mari kita simak
untaian hikmah yang coba ia sampaikan melalui ukiran tinta hitam dari buah
penanya. Tulisanya memang berlabel tahun yang lalu-lalu, namun hikmah yang ia
terangkan kini mampu menembus melampaui jaman hingga sekarang. M. Natsir dalam
Capita Selecta 1.
Dalam bukunya disajikan sebuah analisis
yang dimulai dari penggalan surat yang dikirimkan oleh Prof. Ehrenfest kepada
sahabat dekatnya Prof. Kohnstamm sebelum akhirnya Prof. Ehrenfest membunuh anak
semata wayangnya tercinta, lalu ia membunuh dirinya sendiri. Bukan karena apa,
tapi mesti kita ketahui juga bahwa Prof. Ehrenfest adalah orang yang sedari
kecil memperoleh didikan yang sempurna. Ia adalah seorang intelektual, ilmuan
fisika, kaum terpelajar yang dikelilingi oleh sanak keluarga yang baik pula. Ia
selalu mendapatkan didikan penuh dan terbaik menurut cara didikan mereka di tempat
ia tinggal. Otaknya yang cemerlang telah berhasil menggali rahasia ilmu yang
dapat dicapai manusia pada jamanya. Sebagai intelektual ia adalah orang yang
sudah mencapai derajat hingga mampu mengupas, mengkaji, dan mengungkap rahasia
ilmu yang tersembunyi di bidangnya. Tak pernah ia terdengar melakukan
perbuatan-perbuatan kejam dan tercela, pergaulanya juga selalu dengan
orang-orang yang baik. Lalu mengapa Prof. Ehrenfest hingga tega membunuh anak
tercintanya dan memilih untuk bunuh diri?
Keputusanya itu bukanlah semata-mata
karena terbawa hawa nafsu semata, namun ini adalah sebuah buah pikiran yang
sudah lama ia rencanakan. Ternyata atas dasar kecerdasanya itu, ia ingin anak
semata wayangnya mampu mewarisi kecerdasanya dan menjadi penerusnya dalam ilmu
yang ia pelajari dan temuan-temuanya selama ini. Diberi pula anaknya didikan
yang sebaik-baiknya, tapi bisa dikata anaknya tak juga sampai pada keinginan
sang bapak itu. Maha guru Prof. Ehrenfest akhirnya menyerah pada hidupnya yang
begitu. Bahwa sesungguhnya ia telah kehilangan tujuan hidupnya.
Ia mengira bahwa setelah ia bisa
memenuhi semua keinginan hidupnya selama menjadi ilmuan ia akan merasa cukup
dengan semua itu. Tapi ternyata timbul juga hajat rohani yang lebih besar dari
semua capaianya. Temuan dan ilmunya tak cukup juga untuk memenuhi hajat
ruhaninya. Ia kehilangan tempat berpijak yang kokoh, sementara ia iri hati melihat
orang-orang di sekitarnya bisa merasakan
bahagia, bisa mendapatkan ketentraman hidup yang mereka dambakan dan sedang ia
tidak. Dahaganya pada suatu pegangan yang absolut, kokoh, dan mutlak yang bisa
membuat ia kuat mengahadapi cobaan hidupnya membuat ia semakin tak stabil
dengan posisinya tanpa pijakan yang Agung itu. Sungguh ngeri dan memilukan.
Mari kita lihat penggalan surat yang
ia kirimkan pada sahabatnya itu,
“Mir Fehlt das
Gott Vertraunen. Religion ist notig. Aber wem sie nicht moglich ist, der kann
eben zugrunde gehen”
“Yang tak ada pada
saya, ialah kepercayaan pada Tuhan, Agama adalah perlu. Tetapi barang siapa
yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu, yakni bila ia
tidak bisa beragama”
Ternyata jauh di dalam batin seorang
yang secara lahir bisa kita katakan atheis itu ternyata merasa begitu
merindukan untuk memiliki Tuhan. Meski akhirnya ia tak dapati Tuhan dalam
hidupnya itu. Itulah pentingnya sebuah pegangan yang amat kokoh itu bagi
kehidupan.
Penggalan kisah di atas mari kita
jadikan cerminan untuk generasi di negeri kita ini. Bahwa bisa jadi diantara
orang-orang barat bahkan pribumi kita juga tak mustahil ada orang-orang dengan
perjuangan batin seperti Prof. Ehrenfest. Adalah kerusakan batin yang
pangkalnya pada kekurangan pimpinan rohani di waktu kecil. Karena terlalu sibuk
dengan didikan yang bersifat intelektualitas semata-mata, tanpa memperhatikan
makan batin dalam didikanya sewaktu kecil. Proses didikanya melewatkan sebuah
proses dimana didikan Ketuhanan yang mestinya ditanamkan dalam dadanya semenjak
kecil tidak ia dapatkan.
Mengenal Tuhan,
men-Tauhidkan Tuahan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, harus
menjadi dasar bagi semua generasi yang akan kita latih. Melewatkanya berarti
mempersiapkan sebuah kecelakaan besar bagi generasi kita yang terus tumbuh
menggantikan kita.
Kepada para pendidik generasi negeri
ini yang perduli dengan tumbuh kembang anak-anak kita, kepada para pelajar yang
sedang mempersiapkan diri menjadi pengganti para generasi yang sebentar lagi
habis waktu ditelan usia, marilah kita coba pelajari bagaimana konsep dan model
didikan yang Al-Quran sajikan untuk kita sekalian. Betapa pentingnya didikan
Ketuhanan, menanamkan Allah pada anak-anak negeri di waktu mereka masih kecil.
Melalui Al-Quran inilah petunjuk ilmu yang akan menuntun kita pada sesuatu yang
Agung. Agar para generasi kita memiliki pegangan yang kokoh menghadapi
tantangan jaman yang mendatang.
Inilah sebuah dialog antara seorang
bapak pada anaknya yang sedang ia didik:
“Dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
memepersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.
Dan kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S Luqman: 13-14)
Demikianlah isyarat al-Qur’an pada
setiap bapak yang sedang mendidik putra-putrinya. Bahwa yang pertama harus ia
tanamkan adalah hubungan anaknya dengan Tuhanya. Supaya ada tali Allah tempat
mereka bergantung. Hubungan dengan manusia memang perlu, tetapi itu bisa
dilakukan kapan saja. Tapi tetap yang pertama adalah membangun hubungan anak
dengan Tuhanya.
“Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” (Q.S Ali-Imran: 112)
Selanjutnya patut kita cermati pula
dalam dialog seorang Ayah dengan putranya yang masih muda belia tetapi sudah
memiliki watak teguh dan kokoh itu:
“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; InsyaAllah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S Ash Saffat: 102)
Begitulah
keteguhan seorang pemuda ketika dalam dadanya tertanam Allah semenjak usia
belia. Keteguhan dan kemantapan batin yang luar biasa ditunjukkan oleh pemuda
bernama Ismail kepada ayahnya Ibrahim.
Itulah hidup orang-orang yang
memiliki pedoman yang teguh akan apa yang ia jadikan pegangan. Tak goyah meski
diterpa topan dan badai di tengah lautan. Karena Tauhid telah menghujam dalam
dada generasi yang baik. Bukankah kita juga mengharapkan anak negeri ini
menjadi generasi yang tangguh? Mampu menghadapi tantangan dengan jalan yang
benar dan pegangan akan keyakinan pada Allah yang tak tergoyahkan…
Oleh: Mahing
0 Komentar