Cerita Pagi Santri Pinggiran


Cerita Pagi Santri Pinggiran

Shalat subuh pagi itu sudah digelar, aku ikut berjamaah di shaf depan tepat disamping Bang Isad, seorang aktivis veteran mahasiswa masa reformasi yang idealis mentok. Tubuh tuanya tak melambangkan kelemahan sama sekali. Ya, dia merupakan  salah satu pengasuh pondok pesantren Akhlak Luhur ini. Baru saja beberapa detik selepas salam perutku terasa mules tak karuan, sementara beberapa santri jamaah masbuk yang terlambat datang kemasjid masih susul menyusul. Aku tak tahan lagi, langsung saja aku keluar masjid setengah lari berharap “ia” tak segera memaksa keluar perutku.
“Fu…Fuu… masih-masih” teriakku pada si Fuad sebagai isyarat kalau masih ada yang shalat jamaah di masjid.
Sambil lari kesana-kemari karena terlamat, Fuad nampak klimpungan karena harus segera menjemput pak kyai untuk mengisi kuliah ba’da subuh. Begitu Fuad langsung masuk dalam masjid dan aku buru-buru masuk WC untuk berpereang. ..&^$#@!!!!* PLUNG..!!! ahh…akhirnya.
                THIINNNN..!!!! THIINNNN..!!!! THIINNNN..!!!!
Suara klakson mobil pondok. Tanda pak Kyai sudah rawuh. Aku buru-buru menyudahi thongkronganku yang lagi asyik-asyiknya. Sebagian santri sudah siap di masjid dan sebagian yang lain berlari bergantian menuju masjid tak ingin kena semprot pak Kyai karena terlambat. Meja kecil sudah bertengger didepan para santri dan pak Kyai. Para santri cermat dan nampak sedikit tegang pada kuliah pagi ini. Maklum pagi ini kuliah bersama seorang Kyai ampuh.
“waahh… ini istiqomah kok terlambat” cecer pak Kyai Yun membuka obrolan dengan santri.
 Kita para santri pinggiran ini hanya mampu tersenyum menyesal dan terunduk malu atas pernyataan pamungkas pak Kyai. Ibarat Smash keras menyilang dari Soni Dwi Kuncoro, masuk telak mengalahkan kita
 “baik, sudah tidak ada yang ditunggu lagi? Kita mulai saja… Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokathu….” Pak Kyai Yun memulai kuliah pagi itu. Kami para santri pinggiran mendengarkan baik-baik pesan yang disampaiakan Kyai Yun pada kami.
“Dari sekian banyak orang hanya sedikit dari mereka yang membaca Al-Quran. Dari mereka yang membaca Al-Quran hanya sedikit yang mengerti dan memahami maksudnya. Dari mereka yang membaca Al-Quran dan mengerti maknanya hanya sedikit yang ikhlas ketika membaca. Dari mereka ikhlas membaca hanya sedikit yang mengamalkannya, dan dari mereka yang mengamalkannya hanya sedikit yang Istiqomah” untaian kata pengantar pelajaran dengan nada datar tapi meresap cepat dimemori kami para santri di pagi itu. Kita hanya melongo dan termangu mendengarnya.
Istiqomah itu bisa berarti Konsisten, tetapi Istiqomah hanya untuk hal-hal yang baik saja, bukan untuk hal-hal yang buruk atau tidak baik. Tidak ada yang namanya Istiqomah kok istiqomah terlambat. istiqomah mencuri, istiqomah maksiat dan hal-hal buruk yang lain”. Papar Kyai Yun menjelaskan tentang istiqomah pada kami. Seperti biasa, santri pinggiran hanya mampu tersenym malu dan saling pandang antara santi seolah-olah saling menyalahkan.
Nuansa kuliah pagi itu semakin mencair dan menarik, kata-kata Kyai Yun ringan namun penuh makna yang dalam sehingga kita mudah menangkap apa maksud pak Kyai.
 “seseorang yang istiqomah adalah laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun walaupun dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung” Kata-kata kyai itu menyihir kami semua larut kedalam suasana kuliah yang lebih bergairah.
Kyai juga menyelingi materi dengan kisah atau cerita-cerita yang menarik. Seperti kisah seorang sahabat yang bernama Sufyan Ibn Abdillah yang meminta diajarkan kepadanya tentang Intisari ajaran Islam kepada Rasulullah saw, sehingga dia tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut kepada siapapun pada masa yang akan datang. Maka Rasulullah saw kemudaian memenuhi permintaannya dengan bersabda : “Kul Amantubillahi Tsumastaqim….. Katakanlah, Saya beriman kepada Allah, kemudaian Istiqomahlah!” (HR. Muslim)
“Orang yang beriman haruslah Istiqomah dalam tiga dimensi yaitu menjaga kesucian hatinya, kebenaran perkataan dan kesucian perbuatannya dengan ajaran Islam” lagi-lagi Kyai Yun memukul habis tingkat kesadaran kita para santri yang masih sangat dangkal tentang Islam.
Kita semakin penasaran dengan apa lagi yang akan disampaian oleh Kyai Yun, seolah kita adalah orang yang sedang kehausan ditengah padang pasir yang amat panas, dan nasehat-nasehat Kyai Yun adalah Oase hati yang menyejukkan dan obat kehausan kita akan Islam.
“Setiap orang beriman itu pasti akan diuji” sejenak kyai memandang satu persatu dari kita. Kitapun tak berkutik untuk membalas pandangan pak kyai yang nampak berat itu.
“ada dua macam jenis ujian bagi manusia, yaitu Khoirun atau segala sesuatu yang baik-baik contoh; Kaya, tidak pernah gagal, sukses dalam segala hal dsb. Sedangkan jenis yang satunya adalah Sya’run atau segala sesuatu yang tidak baik-baik, contoh; Miskin seumur hidup, selalu gagal dll” Kyai Yun menjelaskan dengan gamlang.
                Ditengah-tengah suasana kuliah yang awalnya tenag tiba-tiba Kyai melontarkan sebuah pertanyaan yang menohok kita semua. “kalau kalian di uji, mau pilih yang mana? Diuji miskin seumur hidup atau kaya” seketika itu kita para santri hanya diam dan pura-pura melihat buku catatan, bermain bolpoin atau sekedar garuk-garuk biar tidak ditunjuk untuk menjawab. Kyai Yun terus mengamati kita dan menanyakan kembali pertanyaan itu. Sepertinya kyai tahu kalau kita pasti tidak bisa menjawab. Akhirnya pak kyaipun memberi alternatif jawaban pada kita,
“yaa… kalau kita tidak yakin akan sama-sama lulus diuji dengan keduanya mending pilih diuji dengan kekayaan. Paling tidak kita bahagia walau di dunia”
“Hahaha…Hahaha…” para santripun serempak tertawa mendengar candaan pak kyai. Nuansa kuliah pondokpun kembali mencair seketika.
                Sudah hampir satu jam Kyai Yun memberikan kuliah pagi di pondok Akhlak Luhur. Kami merasa beruntung bisa belajar dengan beliau disini, kerena tak banyak juga orang–orang atau majelis kesulitan mengundang beliau untuk mengisi pengajian.
                Akhirnya Kyai Yun menutup kuliah pagi itu dengan sebuah kisah tentang Sultan Abdul Hamid 2 yaitu Sultan terakhir khilafah Utsmaniah yang diuji dengan tawaran dari orang-orang Yahudi yang meminta tanah Palestine untuk mendirikan negara Israel dengan jaminan semua hutang Daulah Utsmaniah akan lunas. Namun Sultan Abdul Hamid menolaknya tanpa kompromi dengan menyatakan “Seandainya tanah palestine diukur kebawah sampai perut bumi lalu engkau timbang dan kau tukar dengan emas yang beratnya sama dengan itupun, takan mungkin tanah palestine akan aku berikan”
“sekarang sudah tahu tentang istiqomah, tinggal kita mengamalkannya…. Baik itu saja. Kita tutup dengan Hamdalah” kata penutup Kyai Yun mengakhiri pelajaran.
                Nasehat yang dalam itu menjadi bunga pagi bagi kami untuk mengawali hari ini. sudah pukul 06.10 seketika kamipun bersiap untuk pergi ke kampus. Si Fuad kembali bergegas mengantarkan Kyai pulang.


_Emre Ember_
04 Maret 2013
PP BM Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar