Masjid Kecil Dusun Sepi



                Selepas shalat maghrib di sebuah Dusun kecil yang jauh dan sepi. Tempatku berpulang setelah merasa lelah belajar di kota. Masjid dengan bangunan sederhana, sangat sederhana “Al-Ikhlas” sebutnya. Pandangan mataku mulai terbang kesana kemari melihat corak bangunan dan tulisan kaligrafi arab yang sudah nampak suram kabur melintang disamping kanan dan kiri sisi tembok masjid kecil itu. Dulu masih “Langgar” namanya. Tak bisa terlupakan tempat ibadah ini dalam benakku. Kenangan masa kecil ku pun melayang-layang di kepala. Ahh… sudahlah, aku kan tak harus terlena dengan nostalgia.
                Aku mengamati anak-anak kecil sibuk dengan kitab-kitab di tanganya. Sembilan calon anak sholeh menata meja kecil dan mulai melantunkan bacaan-bacaan Al-Quran seadanya. Ada juga diantara mereka yang masih terbata-bata mengeja susunan huruf-huruf arab di kitab jilid 6. Al-Qur’an besar tanpa arti dan sudah mulai lusuh porak-poranda ditelan waktu. Kitab jilid 6 yang mulai cobak-cabik karena terlalu sering digunakan bergantian dari tangan mungil satu ke tangan yang lain.
                Aku tengok sekilas di sebelah ku…. Hanya ada satu orang yang mampu mengajari mereka. Laki-laki setengah usia yang selalu menjadi imam shalat yang datang dari tempat yang jauh. Di sudut masjid bagian depan, sebelah kananku persis berdirilah seorang pak tua yang mulai terlihat semangat beribadah karena takut mati ditelan usia. Semangat sekali ibadahnya… setiap kali aku pulang ke tempat sepi ini, dia selalu ada diantara orang dalam shaf shalat kami yang sedikit. Tak pernah ia tertinggal dan selalu datang lebih awal dari pada diriku. Pak tua yang selalu setia dalam subuh, maghrib dan isya bersama. Walau jamaah dalam shaf itu hanya kita berdua. Kucermati ia karena aku kagum pada semangatnya, ia dirikanlah shalat ba’diyah maghribnya dengan khusu’…. “meski setelah aku lihat nampaknya ia kelebihan satu rakaat”. Tiga rakaat, dan dengan dua kali tahiyat untuk shalat sunnah ba’diyah magrib??? Aku mulai khawatir melihatnya…. Mungkin aku saja salah memperhatikan pak tua.
                Waktu isya itupun tiba. Lalu kita berdiri kembali dalam shaf yang sepi, tipis, renggang, sedikit dan lumayan berantakan. Sang imam bertakbir dan kitapun bertakbir…. Lepas shalat isya Empat rakaat kulihat kembali lagi pak tua itu berdiri shalat sunnah dengan diam-diam. Masih dalam khusu’ yang sama. Akupun tergelitik untuk mengamati shlatnya kembali. Entah lah, aku merasa perlu saja mengamati pak tua. Habisnya rasa penasaran sudah gemuruh tak karuan. Mengapa pak tua bisa sedemikian semangat beribadah dalam kesunyian. Lalu pelan-pelan sebelum habis rakaat shalat sunnah pak tua itu aku mulai heran dan bertanya-tanya…. Mungkin lebih tepat dikatakan aku merasa khawatir dan prihatin sekarang. Pak tua shalat sunnah ba’diyah isya Empat rakaat dan dengan Dua kali Tahiyat. Astagfirullah…. Dan aku pun bingung… diam saja… kalah… tak tahu hendak bagaimana aku ini? sedang lisanku tak terampil berucap dan menerangkan makna-makna….
                Maghrib yang kedua di masjid kecil sepi kampung tempatku berpulang setelah lelah belajar di kota. Masih pada suasana yang hampir serupa… tadi aku tak mendengar lantunan adzan ashar dari masjid kita. Apa jangan-jangan “si dia” lelaki tukang adzan itu sedang sibuk mencari penghidupan keluarganya dan tak ada yang menggantikannya? Sementara disamping hijab tembok masjid kami, Enam remaja dan anak-anak gadis kecil juga sibuk dengan kitab-kitab. Baca dengan terbata-bata, tak pula ada guru atau siapa yang mengajarinya membaca? Dimana? Apa tidak ada? Atau tak ada yang bisa??? Mereka terus saja membaca terbata. Aku tak berdaya sudah….
                Ohhh dusun yang sepi dan gelap. 500 meter tanpa aspal dan penerangan jalan… mungkin aku harus cepat selesai belajar dan berpihak padamu. Tempat lahir yang asri, alami, dan penuh kenangan tapi menyedihkan…. Pemudamu ini belum juga menjadi pemberani. Dusun yang sepi, para penghuninya yang masih saja sibuk mencari air dan direpotkan kebutuhan saat tiba waktu shalat…. Dusun yang sejuk tapi tanpa pengajian, ramah tapi tak ada kajian Al-Qur’an. Kitab hanya dibaca lalu lipat dan disimpan.
                ……………………………………………………

                Sudah dua tahun ini, lelaki dan para pemudamu belum juga bisa kembali….
Lalu kapankah shaf-shaf shalat masjid kecil kita menjadi padat, tebal, rapat, rapi dan taat???. Hingga karpet-karpet yang kita simpan pun habis kita gelar. Lalu kapan pula kitab-kitab al-qur’an dan jilid kita diganti jadi bagus hingga kita bisa baca dan kaji untuk kita maknai??? dan pemuda macam manakah yang akan mampu berkata dengan bijak kepada para tetua dan membenarkan jumlah rakaat sholat anak serta para orang tua yang belum tau itu?
                    
Masjid Kecil di Dusun Sepi

14 Oktober 2012

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Inspiratif sekali anak muda..., Sudah saatnya berkeringat lebih dirumah sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum..!!!

      Rencana besar tidak boleh tergesa-gesa.

      Hapus